Mahasiswa Prodi PTM Ciptakan Inovasi Untuk Petani Garam dengan Parabolic Salt Machine
https://drive.google.com/file/d/1-n_NNViOQ9m5FNCq0gLhGCDQ3-ENX4DC/view?usp=sharing
Indonesia merupakan negara maritim karena sebagian besar wilayahnya merupakan perairan. Walaupun tercatat sebagai negara maritim, terdapat suatu fakta yang mengejutkan bahwa Indonesia masih mengimpor garam. Hal tersebut dikarenakan produksi garam dalam negeri belum bisa memenuhi kebutuhan garam masyarakat Indonesia. Berangkat dari situ, sejumlah mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta berinisiatif dalam membantu percepatan produksi garam dengan menciptakan sebuah alat bernama Parabolic Salt Machine.
Ketiga mahasiswa UNS tersebut adalah Dji Hanafit dan Muhammad Khoirul Huda dari Program Studi (Prodi) Pendidikan Teknik Mesin (PTM), juga Arini Nurfadilah dari Prodi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNS. Di bawah bimbingan Dr. Eng. Nugroho Agung Pambudi selaku dosen PTM dan kepala Energy Society Laboratory (ESL) PTM.
“Kami mengembangkan desain teknologi pembuatan garam ini dengan bantuan bimbingan dari Dosen Pendidikan Teknik Mesin, Bapak Dr.Eng Nugroho Agung Pambudi, M.Eng,” ujar Dji saat ditemui tim uns.ac.id di Gedung 2 PTM Pabelan.
Berawal dari ketertarikan mengenai garam, Dji dan kawan-kawannya berhasil membuat karya tulis berjudul Parabolic Salt Machine Sebagai Inovasi Teknologi Penghasil Garam Dengan Metode Pengabutan Misty Fan Berbasis Solar Concentrator Dan Cakram yang berhasil lolos pendanaan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) 5 Tahun 2020 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Mereka menargetkan bahwa alat yang sedang dikembangkan tersebut akan diaplikasikan di Kabupaten Rembang, mengingat Kabupaten Rembang memiliki potensi penghasil garam terbesar di Indonesia.
Menurut Dji, potensi penghasil garam yang ada belum dapat dimanfaatkan secara optimal mengingat petani garam di Indonesia sebagian besar masih menggunakan cara tradisional. Walaupun sebelumnya sudah dilakukan sebuah penelitian tentang teknologi untuk proses produksi garam, seperti: penggunaan teknologi filter ullir, plastik geomembran, dan rumah prisma namun hal tersebut belum sesuai mampu mengatasi permasalahan produksi garam di Indonesia. Dari situ, Dji dan kawan-kawannya hendak membuat alat yang mempercepat produksi garam dengan kualitas yang baik.
Ada pun, proses yang terjadi dalam alat buatan Dji dan kawan-kawannya adalah terdiri dari proses filtrasi, kemudian melewati proses pemanasan air laut menggunakan solar concentrator. Kemudian akan dipecah partikel airnya menjadi bagian yang kecil-kecil dan bantu hembusan angin dari misty fan. Harapannya, dari proses tersebut air garam akan lebih cepat dalam proses pengkristalannya.
Diperikirakan, apabila Parabolic Salt Machine dapat terwujud, hanya membutuhkan waktu kurang lebih 1 – 2 jam pembuatan garam di siang hari. Namun, karena masih terkendala di penelitian, Dji dan kawan-kawannya belum dapat meneliti lebih lanjut karena pandemi yang masih berlangsung. Perlu ada penelitian lebih lanjut mengenai kandungan NaCl dari alat tersebut.
Dji mengaku, ia dan kawan-kawannya ingin membantu perekonomian petani garam di Indonesia dengan alat yang sedang mereka kembangkan.
“Kami ingin membantu perekonomian petani garam karena harga garam itu naik turun dan kami pengen menghasilkan garam yang lebih dan bisa diekspor. Kualitas garam kita kalah dengan garam import, padahal kalau bisa dimaksimalkan kualitas garam kita lebih bagus,” tutur Dji.